Minggu, 03 Juni 2012

PENGELOLAAN TANAH MASAM (ACID SOILS) &PENGAPURAN (LIMING)

PENGELOLAAN TANAH MASAM (ACID SOILS) &PENGAPURAN (LIMING)

         Soils  Management
                                                                                                                                                           
Tanah masam (acid soils) adalah tanah-tanah yang memiliki pH rendah  (agak masam hingga sangat masam atau < 6,5), baik berupa lahan kering (up land) maupun  lahan basah (wet land)          . Umumnya tanah –tanah masam tersebar di kawasan tropika basah seperti : Negara Indonesia, Malaysia, Thailand, Brasil, Afrika tengah, Banglades dan Papua. Indonesia memiliki tanah masam cukup luas yang sebagian besar di berbagai pulau, seperti jenis tanah Aluvial, Latosol, Organosol, dan PMK. Potensi tanah masam dapat berupa : (1) Lahan kering (up land), dan (2) Lahan basah (wet land). Penyebab lahan masam adalah : (1) Tanah Mineral: disebabkan curah hujan sehingga terjadi pencucian basa-basa (CaO, MgO, Na2O, K2O, Dll), dan terjadi pemekatan unsur  Aluminium (Al2O3) dan besi/Fe (Fe2O3) Dll. (2) Tanah organik (Non mineral): disebabkan asam-asam yang berasal dari dekomposisi BO, Oksidasi mineral pirit, dan Reaksi dari pupuk yang diberikan.

Sifat kemasaman tanah dapat dibedakan atas: (1) Kemasaman Aktif (aktual): Kemasaman ini ditunjukan oleh kepekatan ion H+ dalam larutan tanah. (2) Kemasaman Potensial (Cadangan) : Kemasaman ini  ditunjukan oleh kepekatan ion H+ yang terjerap pada komplek koloid yang selalu menyumbangkan ion tersebut ke dalam larutan tanah. Problema dan pengaruh kemasaman tanah : (1) Kelarutan Al yang tinggi sehingga meracuni tanaman, (2) Kelarutan  Mn dan Fe yang cukup tinggi, (3) Ketersediaan P yang sangat rendah karena diikat oleh Al dan Fe, (4) Kekahatan (defisiensi) Mo, N, dan S, (5) Penambatan N oleh bakteri Rhizobium terhambat, (6) Ketersediaan unsur basa (K, Ca, dan Mg) rendah, dan (7) Kapasitas Tukar Kation (KTK) rendah. Pada prinsipnya untuk meningkatkan atau mempertahankan kemampuan tanah dapat dilakukan teknik pengelolaan tanah secara mekanik dan vegetatif. Secara mekanik pembuatan teras misalnya teras gulud, teras bangku, atau teras individu dan pembuatan saluran drainase. Sedangkan secara vegetatif adalah penerapan pola tanam yang menutup permukaan tanah sepanjang tahun baik dengan hijauan maupun vegetasi misalnya dengan pergiliran tanaman, tumpang sari atau penanaman budidaya lorong.

Tujuan dari pengapuran : (1) Menaikkan pH tanah, (2) menyediakan hara Ca dan Mg, (3) Memperbaiki sifat fisika tanah, dan (5) Merangsang aktivitas mikro organisme. Dampak pengapuran melibatkan dua unsur  yaitu: (A) Dampak Positif antara lain : (1) Aspek Kimia Tanah : (a) Menurukan kandungan Al tertukar, dan menurunkan kelarutan Mn, Fe, (b) Meningkatkan ketersediaan Ca, Mg, K, N, dan Meningkatkan ketersediaan P, Mo, dan S, (c) Meningkatkan KTK tanah, dan meningkatkan pH tanah. Dengan demikian berarti bahwa Mikroza sangat berperan dalam hara tanaman. (2) Aspek Fisika Tanah : (a) Merangsang perbaiki struktur tanah atau agregrat tanah dll. (3) Aspek Biologi Tanah : (a) Merangsang pertumbuhan organismo tanah, (b) Merangsang perombakan atau mineralisasi BO dan hara tanaman,dan (c) Meningkatkan aktivitas penambatan N baik secara simbiotik maupun non simbiotik. Dan (B) Dampak Negatif  antara lain : (1) Dapat meningkatkan pencucian hara kation selain unsur Ca, (2) Menurunkan peran Fe oksida dalam stabilitas agregrat, (3) Menurunkan ketersedian hara mikro, (4) Mempercepat kehaisan BO tanah, dan (5) Meningkatkan jumlah muatan positif karena sebagian besar bahan kapur mempunyai PZC tinggi. 
 
Pengelolaan tanah-tanah mineral masam untuk kepentingan pertanian menghadapi kendala pH yang rendah, keracunan Al, Mn, dan Fe, serta kekahatan unsur-unsur hara penting seperti N, P, Ca dan atau Mg dan Mo. Upaya untuk mengatasi persoalan kesuburan tanah masam adalah dengan mengkombinasikan antara praktek usaha tani dengan penerapan bioteknologi tanah yang menekankan pada komponen mengamankan suplai N di dalam sistem tanah-tanaman dengan pengayaan fiksasi N2 secara biologis. Teknologi ini mencakup segala upaya untuk memanipulasi jasad renik dalam tanah dan proses metabolik merata untuk mengoptimalkan produktivitas pertanaman. 






DEFINISI & RUANG LINGKUP PENGELOLAAN TANAH
                                                                                                                     Soils Management

Pengolahan tanah  (Soils tillage) : Setiap  manipulasi terhadap tanah yang diperlukan untuk menciptakan keadaan tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman atau menciptakan keadaan tanah olah yang siap tanam (planting). Tujuan utama pengolahan tanah : Menyiapkan tempat persemaian (seedbed) yang serasi dan baik, memberantas gulma, memperbaiki kondisi fisik tanah untuk penetrasi akar, infiltrasi air, aerasi serta pelumpuran tanah (silting). Metode pengolahan tanah ada 4 cara yaitu: (1) Pengolahan Tanah Konvensional (convensional tillage) : Cara mengolah tanah dengan alat-alat seperti cangkul, garu, bajak, dan traktor. (2) Pengolahan Tanah Minimum (minimum tillage)  : Cara mengolah tanah yang lebih sedikit dibandingkan dengan pengolahan tanah menurut kebiasaan (konvensional). (3) Pengolahan Konservasi (conservasi tillage) : Cara mengolah tanah seperlunya untuk membantu konservasi tanah dan air. (4) Tanpa Pengolahan Tanah (zero tillage, no tillage) : Cara pertanian tanpa dilakukan pengolahan tanah, kecuali penunggalan atau pencangkulan untuk pembenaman benih.

Pengelolaan tanah atau manajemen tanah (soils management) : Suatu kegiatan pengelolaan tanah dalam arti yang lebih luas dimana mencakup faktor fisik, biologi, sosial, ekonomi dan politik untuk meningkatkan produksi tanaman. Beberapa butir gagasan tentang pengelolaan tanah (soil management) yang dapat diberdayakan melindungi lingkungan. (1) Mengeratkan dan memantapkan asosiasi sinergitik tanah dengan pertanaman, (2) Membatasi budidaya padi sawah untuk mengurangi luas lahan basah buatan, dan (3) Menyebarluaskan hutan dan perkebunan rakyat untuk mengatur iklim mikro. Berdasarkan perbedaan dalam pengelolaan (management), baik tingkat efisiensi teknologinya maupun jenis tanaman yang diusahakan, sistem pertanian di daerah tropika basah dibagi 3 macam:  (1) Sistem perladangan berpindah (shifting cultivation atau shifting agricultura), (2) Sistem sawah terdiri dari: (a) Sawah ladang (padi gogo, padi huma), (b) Sawah tadah hujan (padi gogorancah), dan (c) Sawah irigasi (padi sawah), dan (3) Sistem pertanian tanah darat menetap, terdiri dari : (a) Perkebunan besar, (b) Perkebunan kecil, dan (c) Tegalan.   

Faktor penunjang dan hambatan di daerah beriklim tropika basah (humid tropics) bagi pengembangan pertanian, kehutanan dan perkebunan adalah : (1) Faktor penunjang : (a) Masa tanam dapat dilakukan sepanjang tahun, (b) Kebutuhan akar air yang cukup tersedia, dan (2) Faktor hambatan : (a) Sifat dan prilaku tanah tropika basah masih sedikit  diketahui, misal pencucian (leaching) unsur hara yang tinggi akibat tingginya curah hujan, (b) Mudah berkembang biaknya hama dan penyakit, dan (c) Fasilitas transportasi dan sarana produksi (saprodi) yang tidak memadai seperti benih, pupuk, pestisida dll. Disamping itu pengelolaan produksi tanaman semusim dan tahunan juga sangat berpengaruh pada kesesuaian pengolahan tanah. Tanah yang diperuntukan tanaman semusim adalah tanah yang tergolong dalam kelas  kesesuaian I sampai dengan IV. Beberapa ciri khusus dalam pengusahaan tanaman semusim : (1) Pengolahan tanah intensif, (2) Penyiangan terus menerus selama pertumbuhan, (3) Kedalaman lapisan perakaran dangkal (20 – 40 cm), (4) Lama pengusahaan satu musim tanam, (5) Jarak tanam (line spacing) yang sempit, dan (6) Penyediaan sarana produksi dan irigasi yang sesuai.

Tanaman tahunan (keras) : Tanaman yang terus tumbuh tak terbatas, kebanyakan tanaman tahunan bertambah pertumbuhan baru tiap tahun. Beberapa ciri khusus pengusahaan tanaman tahunan adalah : (1) Pengolahan Tanah yang tidak tetap setiap tahun, (2) Penyiangan setempat, (3) Perakaran tanaman yang dalam ( > 40 cm), (4) Pengusahaan yang lama, dan (5) Jarak tanam (line spacing) yang lebar. Karena beberapa ciri tersebut, maka pengusahaan tanaman tahunan dapat lebih luas sehingga menempati areal yang relatif lebih miring (berlereng), sehingga diharapkan dapat berfungsi sebagai fungsi hutan dalam konservasi tanah dan air.




PENGELOLAAN LAHAN RAWA (SWAMPS LAND)
                                                                                                                         Kelompok 2

Agroekosistem lahan rawa atau lahan basah (lowland/wet land) terdiri dari : (1) Rawa pasang surut (tidal swamps). Lahan rawa pasang surut (tidal swamps) adalah daerah rawa yang dalam proses pembentukannya dipengaruhi oleh pasang surut air laut, terletak dibagian muara sungai atau sepanjang pesisir pantai, dan (2) Rawa lebak (non tidal swamps). Lahan rawa lebak adalah rawa yang terjadi karena adanya cekungan, mengalami banjir pada musim hujan dan musim dan umumnya kering pada umum kemarau. Berdasarkan Nugroho (1995) luas total lahan rawa atau lahan basah (swamps) adalah 32,6 juta ha, yang terdiri dari : (1) lahan pasang surut  (tidal swamps) seluas 20,1 juta ha ( 62 % ), dan (2) Lahan rawa lebak (non tidal swamps) seluas 12,5 juta ha (38 %). Yang sebagian tersebar disumatera bagian timur, Kalimantan selatan dan  barat  selatan dan selatan dan utara papua.

Faktor penting  yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan lahan rawa adalah : (1) Lama dan kedalaman air  banjir  atau air pasang serta kualitas airnya, (2) Ketebalan,  kematangan dan kandungan hara gambut, (3) kedalaman lapisan pirit  dan kemasan potensial dan aktual setiap lapisan tanahnya, (4) Pengaruh luapan atau intrusi air payau atau salin, dan (5) tinggi muka air tanah dan kedalaman substatrum lahan, air endapan sungai, laut maupun pasir. Permasalahan di lahan rawa pasang surut atau rawa lebak adalah lahan rawa di zona III, yang tidak terkena pengaruh gambut, adalah : (1) tata air yang belum tertata baik, (2) memiliki kemiskinan hara yang sangat menyolok , (3) memiliki sifat penurunan permukaan yang sangat besar setelah dilakukan drainase, (4) memiliki daya dukung tanah yang rendah, sehingga tanaman dikuatirkan mudah tumbang atau rebah, (5) memiliki daya hantar hidrolik horizontal sangat besar dan vertikal sangat kecil, (6) memiliki sifat mengering tak balik yang menurunkan daya resistensi dan membuat peka erosi, (7) memiliki reaksi (pH) tanah yang rendah,  (8) umumnya mengandung unsur hara mikro yang rendah, dan (9) bahaya banjir.

Lahan marjinal (kritis) adalah lahan yang mempunyai potensi rendah sampai snagat rendah untuk menghasilkan suatu tanaman pertanian. Terbentuknya lahan kritis disebabkan oleh  : (1) Gejala ekologi, seperti letusan gunung api, longsor, gempa, kebakaran, banjir, genangan, dan sebagainya, dan (2) Akibat penggunaan dan sistem pengelolaan lahan yang tidak memperhatikan kaidah konservasi dan kelestarian lingkungan. Lahan tidak produktif atau kritis terdiri dari : (1) Agro-ekositem lahan kering (up-land, seperti lahan yang didominasi tanah ordo Ultisol, Oksisol, dan sebagainya, dan (2) Agro-ekositem lahan basah (low-land, terdiri dari : (a) Lahan rawa (swamps), seperti lahan rawa lebak (non tidal swamps) dan lahan rawa pasang surut (tidal swamps), dan (b) Lahan gambut (peat lad).

Lahan rawa adalah lahan yang sering tergenang air, yang terbagi kedalam 3 zona : (1) Lahan pasang surut payau atau salin yang kondisi airnya lebih banyak dipengaruhi oleh pasang surut dan surutnya air laut, (2) Lahan pasang surut air tawar, dan (3) Lahan lebak (non pasang surut) yang kondisi airnya lebih banyak dipengaruhi oleh hujan setempat dan hujan kiriman. Tata air terbagi atas 2 amcam , yaitu : (a) Satu arah, dimana saluran irigas dan drainase terpisah, dan (b) Dua arah, dimana saluran irigasi dan drainase bersatu. Dalam kaitan dengan pengembangan teknologi pengelolaan lahan dan tata air, kendala utama pengembangan pertanian lahan pasang surut meliputi aspek fisika-kimia antara lain : (1) Tingginya kemasaman tanah,, (2) Adanya zat beracun (Al, Fe, Hidrogen sulfida dan Na), (3) Lapisan gambut, (4) Terjadinya kekeringan dan genangan, (5) Adanya intrusi air asin, dan (6) Rendahnya tinggkat kesuburan alami tanah dengan keragaman yang tinggi.









Sawah merupakan lahan yang digunakan untuk penanaman padi sawah dimana sistem tata airnya mengalami penggenangan minimal 2 bulan per tahun. Luas lahan sawah di indonesia dipulau jawa : 4,5 juta hektar atau 55 %, sebelumnya > 5,5 juta hektar atau 45 %. Adapun jenis tanah sawah yang terdapat di indonesia adalah : (1) Aluvial  (ordo Entisol dan Inceptisol). (2) Latosol  (ordo Ultisol dan Inceptisol ). (3) Regosol  (ordo Entisol). (4) Podsolik Merah Kuning  (ordo Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol). (5) Andosol (ordo Andisol , dan Inceptisol ). (6) Planosol / Hidromorf (ordo Entisol dan Inceptisol ). (7) Organosol  (ordo Histosol dan Entisol ).  Tawah sawah di indonesia memiliki arti yang sangat strategi, karena berfungsi sebagai : (1) Lahan untuk bercocok tanam (Padi, Palawija, dan Sayuran) bagi sebagian besar penduduk Indonesia (80 %), terutama masyarakat petani. (2) Sebagai sentra produksi beras nasional, terutama di pulau jawa. (3) Penyangga ketahanan pangan nasional unuk mencegah kerawanan pangan (gejolak sosial dan politik ). (4) Berhubungan dengan hajad hidup orang banyak ( kebutuhan primer).

Permasalahan pada tanah sawah dapat dilihat dari berbagai aspek yaitu aspek politik dan sosial ekonomi, dan aspek biofisik ;lahan dan kesuburan. Sedangkan tantangan dalam pengembangan teknologi tanaman padi kedepan di indonesia, terdiri dari  : (1) Dampak permanasan global  (global warming). (2) Tuntutan keamanan dan ketahanan pangan (food Securyty dan food Safety). (3) Persaingan global dan pasar bebas, (4) Keamanan lingkungan dan tuntutan akan sistem pertanian berkelanjutan (Sustainable farming agricultura).

Hampir seluruh daratan Indonesia mendapat curah hujan > 2.000 mm/tahun. Jika kebutuhan air untuk sekali musim tanam padi 1.000 mm, maka curah yang rendah di indonesia dibagian Timur, yaitu NTT sekitar 1.200-1.500 mm/ tahun masih memungkinkan penanaman padi pada musim hujan. Hanya saja tergantung kepada faktor lain seperti : Kesuburan tanah, tropologi dan faktor lingkungan lainnya. Ada beberapa jenis ekosistem / tropologi yang dapat diusahakan untuk tanaman padi, seperti : (a). Sawah Tadah Hujan : Daratan rendah yang bukan daerah pasang surut, yang merupakan areal cekungan, tepi sungai, pesisir pantai dan daratan rendah lainnya yang tidak mempunyai sumber irigasi. (b) Sawah irigasi, sawah ini terdapat di daerah datar sampai pegunungan lembah dan daratan , sumber air berasal dari bangunan irigasi yang dibangun pada sungai. Luas lahan irigasi di Indonesia 3,6 juta ha. (c) Sawah rawa / lebak, tanah ini terdapat didaratan rendah sekitar sungai besar, umumnya terjadi karena luapan air sungai dan genangan air hujan karena daya tampung sungai tidak mampu mengalirkan kelaut. (d) Sawah Sumatera Timur, Kalsel dan Kalbar serta Papua. Luasnya 36 juta ha, sebagiannya dari tanah ini telah diusahakan untuk padi sawah  dan kelapa dengan hasil sedang sampai baik.Sebaliknya pada beberapa daerah terdapat pengusahaan pertanian yang kurang berhasil. Areal pertanaman pada umumnya sekitar 300-500 m dari saluran utama dan tergnatung dengan debit pasang air sungai. Petan menanam padi satu kali dalam setahun dan diusahakan pada musim hujan. Produksi berkisar 2-3 ton/ ha tanpa penggunaan pupuk dan pengolahan tanah.