PENGELOLAAN
TANAH MASAM (ACID SOILS)
&PENGAPURAN (LIMING)
Soils
Management
Tanah masam (acid soils) adalah tanah-tanah yang memiliki pH rendah (agak masam hingga sangat masam atau <
6,5), baik berupa lahan kering (up land)
maupun lahan basah (wet land) . Umumnya
tanah –tanah masam tersebar di kawasan tropika basah seperti : Negara
Indonesia, Malaysia, Thailand, Brasil, Afrika tengah, Banglades dan Papua.
Indonesia memiliki tanah masam cukup luas yang sebagian besar di berbagai
pulau, seperti jenis tanah Aluvial, Latosol, Organosol, dan PMK. Potensi tanah
masam dapat berupa : (1) Lahan kering (up
land), dan (2) Lahan basah (wet land).
Penyebab lahan masam adalah : (1) Tanah Mineral: disebabkan curah hujan
sehingga terjadi pencucian basa-basa (CaO, MgO, Na2O, K2O,
Dll), dan terjadi pemekatan unsur
Aluminium (Al2O3) dan besi/Fe (Fe2O3)
Dll. (2) Tanah organik (Non mineral): disebabkan asam-asam yang berasal dari
dekomposisi BO, Oksidasi mineral pirit, dan Reaksi dari pupuk yang
diberikan.
Sifat kemasaman
tanah dapat dibedakan atas: (1) Kemasaman Aktif (aktual): Kemasaman ini
ditunjukan oleh kepekatan ion H+ dalam larutan tanah. (2) Kemasaman
Potensial (Cadangan) : Kemasaman ini
ditunjukan oleh kepekatan ion H+ yang terjerap pada komplek koloid yang
selalu menyumbangkan ion tersebut ke dalam larutan tanah. Problema dan pengaruh
kemasaman tanah : (1) Kelarutan Al yang tinggi sehingga meracuni tanaman, (2)
Kelarutan Mn dan Fe yang cukup tinggi,
(3) Ketersediaan P yang sangat rendah karena diikat oleh Al dan Fe, (4)
Kekahatan (defisiensi) Mo, N, dan S, (5) Penambatan N oleh bakteri Rhizobium terhambat, (6) Ketersediaan
unsur basa (K, Ca, dan Mg) rendah, dan (7) Kapasitas Tukar Kation (KTK) rendah.
Pada prinsipnya untuk meningkatkan atau mempertahankan kemampuan tanah dapat
dilakukan teknik pengelolaan tanah secara mekanik dan vegetatif. Secara mekanik
pembuatan teras misalnya teras gulud, teras bangku, atau teras individu dan
pembuatan saluran drainase. Sedangkan secara vegetatif adalah penerapan pola
tanam yang menutup permukaan tanah sepanjang tahun baik dengan hijauan maupun
vegetasi misalnya dengan pergiliran tanaman, tumpang sari atau penanaman
budidaya lorong.
Tujuan dari
pengapuran : (1) Menaikkan pH tanah, (2) menyediakan hara Ca dan Mg, (3)
Memperbaiki sifat fisika tanah, dan (5) Merangsang aktivitas mikro organisme.
Dampak pengapuran melibatkan dua unsur
yaitu: (A) Dampak Positif antara lain : (1) Aspek Kimia Tanah : (a)
Menurukan kandungan Al tertukar, dan menurunkan kelarutan Mn, Fe, (b)
Meningkatkan ketersediaan Ca, Mg, K, N, dan Meningkatkan ketersediaan P, Mo,
dan S, (c) Meningkatkan KTK tanah, dan meningkatkan pH tanah. Dengan demikian
berarti bahwa Mikroza sangat berperan dalam hara tanaman. (2) Aspek
Fisika Tanah : (a) Merangsang perbaiki struktur tanah atau agregrat tanah dll.
(3) Aspek Biologi Tanah : (a) Merangsang pertumbuhan organismo tanah, (b)
Merangsang perombakan atau mineralisasi BO dan hara tanaman,dan (c)
Meningkatkan aktivitas penambatan N baik secara simbiotik maupun non
simbiotik. Dan (B) Dampak Negatif
antara lain : (1) Dapat meningkatkan pencucian hara kation selain unsur
Ca, (2) Menurunkan peran Fe oksida dalam stabilitas agregrat, (3) Menurunkan
ketersedian hara mikro, (4) Mempercepat kehaisan BO tanah, dan (5) Meningkatkan
jumlah muatan positif karena sebagian besar bahan kapur mempunyai PZC
tinggi.
Pengelolaan
tanah-tanah mineral masam untuk kepentingan pertanian menghadapi kendala pH
yang rendah, keracunan Al, Mn, dan Fe, serta kekahatan unsur-unsur hara penting
seperti N, P, Ca dan atau Mg dan Mo. Upaya untuk mengatasi persoalan kesuburan
tanah masam adalah dengan mengkombinasikan antara praktek usaha tani dengan
penerapan bioteknologi tanah yang menekankan pada komponen mengamankan suplai N
di dalam sistem tanah-tanaman dengan pengayaan fiksasi N2 secara
biologis. Teknologi ini mencakup segala upaya untuk memanipulasi jasad renik
dalam tanah dan proses metabolik merata untuk mengoptimalkan produktivitas
pertanaman.
DEFINISI & RUANG
LINGKUP PENGELOLAAN TANAH
Soils
Management
Pengolahan
tanah (Soils tillage) : Setiap manipulasi terhadap tanah yang diperlukan
untuk menciptakan keadaan tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman atau
menciptakan keadaan tanah olah yang siap tanam (planting). Tujuan utama pengolahan tanah : Menyiapkan tempat
persemaian (seedbed) yang serasi dan
baik, memberantas gulma, memperbaiki kondisi fisik tanah untuk penetrasi akar,
infiltrasi air, aerasi serta pelumpuran tanah (silting). Metode pengolahan tanah ada 4 cara yaitu: (1)
Pengolahan Tanah Konvensional (convensional
tillage) : Cara mengolah tanah dengan alat-alat seperti cangkul, garu,
bajak, dan traktor. (2) Pengolahan Tanah Minimum (minimum tillage) : Cara
mengolah tanah yang lebih sedikit dibandingkan dengan pengolahan tanah menurut
kebiasaan (konvensional). (3) Pengolahan Konservasi (conservasi tillage) : Cara mengolah tanah seperlunya untuk
membantu konservasi tanah dan air. (4) Tanpa Pengolahan Tanah (zero tillage, no tillage) : Cara
pertanian tanpa dilakukan pengolahan tanah, kecuali penunggalan atau
pencangkulan untuk pembenaman benih.
Pengelolaan tanah
atau manajemen tanah (soils management)
: Suatu kegiatan pengelolaan tanah dalam arti yang lebih luas dimana mencakup
faktor fisik, biologi, sosial, ekonomi dan politik untuk meningkatkan produksi
tanaman. Beberapa butir gagasan tentang pengelolaan tanah (soil management) yang dapat diberdayakan melindungi lingkungan.
(1) Mengeratkan dan memantapkan asosiasi sinergitik tanah dengan pertanaman,
(2) Membatasi budidaya padi sawah untuk mengurangi luas lahan basah buatan, dan
(3) Menyebarluaskan hutan dan perkebunan rakyat untuk mengatur iklim mikro.
Berdasarkan perbedaan dalam pengelolaan (management),
baik tingkat efisiensi teknologinya maupun jenis tanaman yang diusahakan,
sistem pertanian di daerah tropika basah dibagi 3 macam: (1) Sistem perladangan berpindah (shifting cultivation atau shifting
agricultura), (2) Sistem sawah terdiri dari: (a) Sawah ladang (padi gogo,
padi huma), (b) Sawah tadah hujan (padi gogorancah), dan (c) Sawah irigasi
(padi sawah), dan (3) Sistem pertanian tanah darat menetap, terdiri dari : (a)
Perkebunan besar, (b) Perkebunan kecil, dan (c) Tegalan.
Faktor penunjang
dan hambatan di daerah beriklim tropika basah (humid tropics) bagi pengembangan pertanian, kehutanan dan perkebunan
adalah : (1) Faktor penunjang : (a) Masa tanam dapat dilakukan sepanjang tahun,
(b) Kebutuhan akar air yang cukup tersedia, dan (2) Faktor hambatan : (a) Sifat
dan prilaku tanah tropika basah masih sedikit
diketahui, misal pencucian (leaching)
unsur hara yang tinggi akibat tingginya curah hujan, (b) Mudah berkembang
biaknya hama dan penyakit, dan (c) Fasilitas transportasi dan sarana produksi
(saprodi) yang tidak memadai seperti benih, pupuk, pestisida dll. Disamping itu
pengelolaan produksi tanaman semusim dan tahunan juga sangat berpengaruh pada
kesesuaian pengolahan tanah. Tanah yang diperuntukan tanaman semusim adalah
tanah yang tergolong dalam kelas kesesuaian
I sampai dengan IV. Beberapa ciri khusus dalam pengusahaan tanaman semusim :
(1) Pengolahan tanah intensif, (2) Penyiangan terus menerus selama pertumbuhan,
(3) Kedalaman lapisan perakaran dangkal (20 – 40 cm), (4) Lama pengusahaan satu
musim tanam, (5) Jarak tanam (line spacing) yang sempit, dan (6) Penyediaan
sarana produksi dan irigasi yang sesuai.
Tanaman tahunan
(keras) : Tanaman yang terus tumbuh tak terbatas, kebanyakan tanaman tahunan
bertambah pertumbuhan baru tiap tahun. Beberapa ciri khusus pengusahaan tanaman
tahunan adalah : (1) Pengolahan Tanah yang tidak tetap setiap tahun, (2)
Penyiangan setempat, (3) Perakaran tanaman yang dalam ( > 40 cm), (4)
Pengusahaan yang lama, dan (5) Jarak tanam (line
spacing) yang lebar. Karena beberapa ciri tersebut, maka pengusahaan
tanaman tahunan dapat lebih luas sehingga menempati areal yang relatif lebih
miring (berlereng), sehingga
diharapkan dapat berfungsi sebagai fungsi hutan dalam konservasi tanah dan air.
PENGELOLAAN LAHAN RAWA
(SWAMPS LAND)
Kelompok 2
Agroekosistem
lahan rawa atau lahan basah (lowland/wet land) terdiri dari : (1) Rawa pasang
surut (tidal swamps). Lahan rawa pasang surut (tidal swamps) adalah daerah rawa
yang dalam proses pembentukannya dipengaruhi oleh pasang surut air laut,
terletak dibagian muara sungai atau sepanjang pesisir pantai, dan (2) Rawa
lebak (non tidal swamps). Lahan rawa lebak adalah rawa yang terjadi karena
adanya cekungan, mengalami banjir pada musim hujan dan musim dan umumnya kering
pada umum kemarau. Berdasarkan Nugroho (1995) luas total lahan rawa atau lahan
basah (swamps) adalah 32,6 juta ha, yang terdiri dari : (1) lahan pasang
surut (tidal swamps) seluas 20,1 juta ha
( 62 % ), dan (2) Lahan rawa lebak (non tidal swamps) seluas 12,5 juta ha (38
%). Yang sebagian tersebar disumatera bagian timur, Kalimantan selatan dan barat
selatan dan selatan dan utara papua.
Faktor
penting yang perlu dipertimbangkan dalam
pengembangan lahan rawa adalah : (1) Lama dan kedalaman air banjir
atau air pasang serta kualitas airnya, (2) Ketebalan, kematangan dan kandungan hara gambut, (3)
kedalaman lapisan pirit dan kemasan
potensial dan aktual setiap lapisan tanahnya, (4) Pengaruh luapan atau intrusi
air payau atau salin, dan (5) tinggi muka air tanah dan kedalaman substatrum
lahan, air endapan sungai, laut maupun pasir. Permasalahan di lahan rawa pasang
surut atau rawa lebak adalah lahan rawa di zona III, yang tidak terkena
pengaruh gambut, adalah : (1) tata air yang belum tertata baik, (2) memiliki
kemiskinan hara yang sangat menyolok , (3) memiliki sifat penurunan permukaan
yang sangat besar setelah dilakukan drainase, (4) memiliki daya dukung tanah
yang rendah, sehingga tanaman dikuatirkan mudah tumbang atau rebah, (5)
memiliki daya hantar hidrolik horizontal sangat besar dan vertikal sangat
kecil, (6) memiliki sifat mengering tak balik yang menurunkan daya resistensi
dan membuat peka erosi, (7) memiliki reaksi (pH) tanah yang rendah, (8) umumnya mengandung unsur hara mikro yang
rendah, dan (9) bahaya banjir.
Lahan marjinal
(kritis) adalah lahan yang mempunyai potensi rendah sampai snagat rendah untuk
menghasilkan suatu tanaman pertanian. Terbentuknya lahan kritis disebabkan oleh
: (1) Gejala ekologi, seperti letusan
gunung api, longsor, gempa, kebakaran, banjir, genangan, dan sebagainya, dan
(2) Akibat penggunaan dan sistem pengelolaan lahan yang tidak memperhatikan
kaidah konservasi dan kelestarian lingkungan. Lahan tidak produktif atau kritis
terdiri dari : (1) Agro-ekositem lahan kering (up-land, seperti lahan yang didominasi tanah ordo Ultisol,
Oksisol, dan sebagainya, dan (2) Agro-ekositem lahan basah (low-land, terdiri dari : (a) Lahan rawa (swamps), seperti lahan rawa lebak (non tidal swamps) dan lahan rawa pasang surut (tidal swamps), dan (b) Lahan gambut (peat lad).
Lahan rawa adalah
lahan yang sering tergenang air, yang terbagi kedalam 3 zona : (1) Lahan pasang
surut payau atau salin yang kondisi airnya lebih banyak dipengaruhi oleh pasang
surut dan surutnya air laut, (2) Lahan pasang surut air tawar, dan (3) Lahan
lebak (non pasang surut) yang kondisi airnya lebih banyak dipengaruhi oleh hujan
setempat dan hujan kiriman. Tata air terbagi atas 2 amcam , yaitu : (a) Satu
arah, dimana saluran irigas dan drainase terpisah, dan (b) Dua arah, dimana
saluran irigasi dan drainase bersatu. Dalam kaitan dengan pengembangan
teknologi pengelolaan lahan dan tata air, kendala utama pengembangan pertanian
lahan pasang surut meliputi aspek fisika-kimia antara lain : (1) Tingginya
kemasaman tanah,, (2) Adanya zat beracun (Al, Fe, Hidrogen sulfida dan Na), (3)
Lapisan gambut, (4) Terjadinya kekeringan dan genangan, (5) Adanya intrusi air
asin, dan (6) Rendahnya tinggkat kesuburan alami tanah dengan keragaman yang
tinggi.
Sawah merupakan
lahan yang digunakan untuk penanaman padi sawah dimana sistem tata airnya
mengalami penggenangan minimal 2 bulan per tahun. Luas lahan sawah di indonesia
dipulau jawa : 4,5 juta hektar atau 55 %, sebelumnya > 5,5 juta hektar atau
45 %. Adapun jenis tanah sawah yang terdapat di indonesia adalah : (1)
Aluvial (ordo Entisol dan Inceptisol). (2)
Latosol (ordo Ultisol dan Inceptisol ).
(3) Regosol (ordo Entisol). (4) Podsolik
Merah Kuning (ordo Ultisol, Alfisol, dan
Inceptisol). (5) Andosol (ordo Andisol , dan Inceptisol ). (6) Planosol /
Hidromorf (ordo Entisol dan Inceptisol ). (7) Organosol (ordo Histosol dan Entisol ). Tawah sawah di indonesia memiliki arti yang
sangat strategi, karena berfungsi sebagai : (1) Lahan untuk bercocok tanam
(Padi, Palawija, dan Sayuran) bagi sebagian besar penduduk Indonesia (80 %),
terutama masyarakat petani. (2) Sebagai sentra produksi beras nasional,
terutama di pulau jawa. (3) Penyangga ketahanan pangan nasional unuk mencegah
kerawanan pangan (gejolak sosial dan politik ). (4) Berhubungan dengan hajad
hidup orang banyak ( kebutuhan primer).
Permasalahan pada
tanah sawah dapat dilihat dari berbagai aspek yaitu aspek politik dan sosial
ekonomi, dan aspek biofisik ;lahan dan kesuburan. Sedangkan tantangan dalam
pengembangan teknologi tanaman padi kedepan di indonesia, terdiri dari : (1) Dampak permanasan global (global warming). (2) Tuntutan keamanan dan
ketahanan pangan (food Securyty dan food Safety). (3) Persaingan global dan
pasar bebas, (4) Keamanan lingkungan dan tuntutan akan sistem pertanian berkelanjutan
(Sustainable farming agricultura).
Hampir seluruh
daratan Indonesia mendapat curah hujan > 2.000 mm/tahun. Jika kebutuhan air
untuk sekali musim tanam padi 1.000 mm, maka curah yang rendah di indonesia
dibagian Timur, yaitu NTT sekitar 1.200-1.500 mm/ tahun masih memungkinkan
penanaman padi pada musim hujan. Hanya saja tergantung kepada faktor lain
seperti : Kesuburan tanah, tropologi dan faktor lingkungan lainnya. Ada
beberapa jenis ekosistem / tropologi yang dapat diusahakan untuk tanaman padi,
seperti : (a). Sawah Tadah Hujan : Daratan rendah yang bukan daerah pasang
surut, yang merupakan areal cekungan, tepi sungai, pesisir pantai dan daratan
rendah lainnya yang tidak mempunyai sumber irigasi. (b) Sawah irigasi, sawah
ini terdapat di daerah datar sampai pegunungan lembah dan daratan , sumber air
berasal dari bangunan irigasi yang dibangun pada sungai. Luas lahan irigasi di
Indonesia 3,6 juta ha. (c) Sawah rawa / lebak, tanah ini terdapat didaratan
rendah sekitar sungai besar, umumnya terjadi karena luapan air sungai dan
genangan air hujan karena daya tampung sungai tidak mampu mengalirkan kelaut.
(d) Sawah Sumatera Timur, Kalsel dan Kalbar serta Papua. Luasnya 36 juta ha,
sebagiannya dari tanah ini telah diusahakan untuk padi sawah dan kelapa dengan hasil sedang sampai
baik.Sebaliknya pada beberapa daerah terdapat pengusahaan pertanian yang kurang
berhasil. Areal pertanaman pada umumnya sekitar 300-500 m dari saluran utama
dan tergnatung dengan debit pasang air sungai. Petan menanam padi satu kali
dalam setahun dan diusahakan pada musim hujan. Produksi berkisar 2-3 ton/ ha
tanpa penggunaan pupuk dan pengolahan tanah.